Dia Yang Bersama Dilan Tahun 1995

[Resensi Buku] Ancika–Dia yang Bersamaku Tahun 1995 – Pidi Baiq

  

Data Buku

Judul : Ancika – Dia yang Bersamaku Tahun1995

Penulis : Pidi Baiq

Penyunting : Esti Ayu Budihabsari dan Ilham Miftahuddin

Penerbit : Pastel Books

Tahun Terbit : 2021

Tebal Buku : 340 Hlm 



Apakah kamu termasuk generasi milenial? Jika jawaban “iya”, maka lanjutkan baca, jika “tidak”, lanjutkan baca juga. Hehehe,..

Loh? *emoticon senyum.

Sebab apa yang akan aku bahas di sini akan membawamu ke masa awal tahun 1990. Dan itu akan membuka kenangan di mana belum ada racun dunia berbentuk kotak pintar yang sering disebut gawai/ponsel. Saya sendiri lahir akhir tahun 80-an, dan tahun 90-an adalah masa menyenangkan di mana belum dirumitkan oleh keadaan yang terus memaksa untuk bergerak. Entah itu hubungan rumit yang bernama cinta, pertemanan hingga keluarga, dan tentu saja kehidupan sosial yang terus melangkah secepat usia. Mungkin aku adalah salah satu yang beruntung menjadi generasi milenial. Masih bisa menemui harga minyak yang setara tiga bungkus permen di masa sekarang. Meskipun, saat ini, butuh minyak urut untuk melonggarkan otot-otot yang mulai melemah. Di saat itu, mengkhayal kembali ke masa lampau akan sangat menyenangkan.

Tentu saja, khayalan itu akan lebih sempurna jika terdapat sebuah objek yang dapat mengantarkan melintasi waktu. Buku adalah perantara yang tepat. Namun, membaca buku sejarah yang akan sangat efektif membawa pembaca melintasi waktu itu sedikit membosankan. Jadilah, buku-buku sastra dengan latar masa lampau menjadi pilihan yang paling mujarab.

Saya pun begitu, sangat senang sekali jika menemukan buku dengan predikat sastra yang bisa membawa saya melayang dan mendarat ke tahun 90-an. "Dilan", karya dari Pidi Baiq yang mempunyai latar tahun 90-an akan sangat cocok untuk dibaca. Ohw, tahun di mana Dilan melewati masa SMA, saya masih dalam gendongan. Tapi, apa yang dinarasikan dalam buku itu, jelas bisa memberikan gambaran masa membahagiakan itu. Secara tidak langsung, menjadi bahan referensi untuk saya dalam menjelajah waktu. Jadilah tiga seri "Dilan" saya babat habis. Saking semangatnya, saya tak akan rela melewatkan kisah Dilan dan segala masalahnya. Terkadang saya berpikir, apakah tahun 90-an menyenangkan seperti itu. Jelas saya sangat berharap, saya pun tak bisa membandingkannya bukan?

 


Hingga petualangan Dilan itu berlanjut, dan Ancika adalah angin segar yang akan membawa pembaca kembali bernostalgia, terutama generasi milenial. Ohw, bagi generasi masa kini, entah itu Z atau apalah bisa juga kok. Justru, hal ini akan sangat membuat iri. Suwer, saya tak akan bohong. Saya mengakui lebih menginginkan masa di mana Dilan hidup.

Antusias yang sangat besar, tanpa menyia-yiakan kesempatan. Ancika segera aku pinang dengan sepenuh hati. Kali ini, latar cerita di tahun 1995, masih tahun 90-an juga. Kalau saya ingat tahun ini, saya menginjakan kaki di bangku sekolah dasar dan tentu saja belum terjadi krisis ekonomi yang dampaknya masih membekas hingga sekarang.

Dalam buku ini, Ancika akan bercerita seperti Milea saat bersama Dilan. Menurut Blurb yang ada di belakang buku, Ancika adalah pacar Dilan. Mereka saling mengenal setelah Dilan sudah tidak lagi berpacaran dengan Lia.

Hmm, drama kehidupan remaja yang sangat layak untuk diikuti. Semua pasti penasaran dengan sosok Ancika. Dan buku ini, Ancika akan bernarasi siapa dirinya, apa yang dia suka, apa yang dia benci, hingga kesan yang dihadirkan saat menghadapi Dilan, Si Panglima Tempur ini. Formula yang dihadirkan masih sama seperti buku "Dilan" yang lain. Ancika mengenalkan dirinya, membawakan rasa yang dia rasa, masalah yang harus dihadapi, hingga dunia di tahun 1995 yang sangat memberikan kesan.

Rayuan Dilan yang tetap efektif untuk menyerat Ancika. Ohw, pembaca pun bisa terjerat oleh gombalannya yang sederhana namun berkelas. Saya pikir, karakter Dilan di sini tak banyak berubah, kecuali semakin terlihat dewasa. Lima tahun setelah putus dengan Milea, jelas akan memberikan efek yang sangat besar. Di dalam buku ini pun, pembaca tak diributkan dengan karakternya. Pembaca sudah sangat kenal dengan Dilan. Jadi tak perlu bertele-tele mendeskripsikan sosoknya. Memang fokus utama di sini adalah Ancika. Jadi semua tentang Ancika, Dilan hanya terkesan tokoh sampingan yang punya peran sangat besar dalam kehidupannya. Jika dibandingkan dengan sudut pandang Milea dalam “Dilan”, Dilan masih punya ruang yang sangat besar. Hal ini, akan sangat merepotkan untuk pembaca yang tak pernah mengenal sosok Dilan. Aku rasa, banyak pembaca baru yang belum membaca Dilan. Saya pun, meskipun telah membaca kisah Dilan yang lain, masih menerka-nerka seperti apa Dilan di tahun 1995. Untungnya alur dan plot yang disuguhkan dapat menjawab semua rasa ragu dan bimbang. Saya pun memahami bahwa Ancika dihadirkan untuk mengobati rasa rindu pengemar "Dilan". Jadi, saran saya, sebaiknya bacalah dua buku "Dilan" terlebih dulu. Ohw, jangan lupa bagian "Milea" juga, meskipun bagian ini seperti dua buku yang dibundel.

Karakter Ancika yang misterius itu diungkap di dalam buku ini. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama seperti sebelum-sebelumnya. Sempat saya berasumsi bahwa dalam “Ancika” ini yang akan bercerita adalah Dilan, seperti dalam “Milea”. Namun rupanya saya terkecoh oleh judul dan tagline-nya. Ancika dibangun dengan sangat hati-hati, penulis tahu kunci dari dunia “Dilan” ada pada pundaknya. Saya pribadi masih menginginkan Dilan dan Milea, bukan dengan Ancika. Rasa sesak itu masih bersemayam di dalam dada. Tapi, drama kehidupan memang seperti ini. Dan hal ini lebih bisa diterima oleh kepala. Yang bisa dilakukan adalah penerimaan dan segera melangkah untuk berganti hati. Ancika juga punya pesona yang luar biasa seperti Milea. Jadi, kekecewaan itu terbalaskan.

Sayangnya premis yang dieksekusi masih berputar-putar. Saya menemukan beberapa kesamaan dalam adegan kehidupan Ancika dan Milea. Seperti Milea yang menjadi idola kawan-kawan sepantaran, Ancika juga begitu. Sosok-sosok pemuda yang dihadirkan sebagai penganggu hubungan Ancika dan Dilan pun ada. Sebut saja, Bagas, Bono dan Yadit. Tokoh-tokoh ini akan membawa kilas balik pada tokoh Beni, Kang Adi, atau Yugo. Ohw, Nandan juga. Formula yang sama bukan? Termasuk latar tempatnya juga. Jujur, tak ada yang baru, kecuali Ancika yang mulai menampakkan tabir kabut yang selama ini masih menutupi wajahnya. 

Tapi, pembaca tak perlu khawatir akan hal itu, Ancika sama istimewahnya dengan buku pendahulunya. Saya, lebih bisa menerima deskripsi yang diciptakan untuk menghadirkan tahun 1995. Jelas saya melayang menembus tembok-tembok dan kembali ke tahun tersebut. Saya merasa berada diantara mereka. Ancika hidup dan menarik pembaca untuk masuk ke dalam dunianya. Hampir saja, saya lupa hidup di tahun yang serba mesin ini. Penulis memang pintar dalam memikat pembaca. Hanya dengan cerita yang diberi bumbu-bumbu kenangan, bisa menarik banyak kesenangan. Namun, saya sedikit merasa terganggu dengan beberapa bagian yang membandingkan masa sekarang dan masa tahun 1995. Segera, saya akan tersadar bahwa tengah di dalam lamunan. Agak sedikit menjengkelkan memang. Seperti mesin waktu yang menyusuri lorong kenangan kemudian di tengah penjelajahan itu dihempaskan ke masa kini dan diluncurkan kembali ke masa lampau.

Yang aku suka dari Ancika adalah keberanian dirinya untuk melawan apa yang tak sesuai dengan hatinya. Bukan sosok perempuan lemah, namun sisi feminimnya tetap ada. Saya tahu sekarang, kenapa Ancika digambarkan berambut pendek. Dan, di tahun 90-an, perempuan berambut pendek memang sedang tren. Kalau tidak salah, hal ini karena film Hollywood terkenal yang dibintangi oleh Demi Moore.

 


Tren budaya hingga informasi yang sedang hangat di masa itu, diselipkan dengan sangat halus. Karakternya yang banyak punya porsi yang tepat untuk membuat Ancika tak merasa sendiri. Ditambah puisi-puisi Dilan yang bagiku terasa unik. Sebab diksinya sedikit memaksa, tapi bisa diterima.

 Ancika memang lebih baik dari buku pendahulunya. Lebih matang dan dibangun dengan kuat. Narasi penuh dengan minim dialog. Lebih dapat ‘feel’ tahun 1995. Dari segi teknik juga lebih meningkat. Meskipun, saya sedikit meragukan, apakah kata “Anjir” dan “Anjrit” yang sangat popular dikalangan anak gaul sekarang telah ada sejak tahun 1995. Terus terang, saat saya berada di tahun 1995 dulu, saya tak pernah mengenal kata ini. Atau mungkin, karena saya hanya anak SD? Entahlah… apakah hal ini luput dari proses pengeditan seperti beberapa kesalahan lainnya? Yang jelas memang ada beberapa bagian yang sedikit memberi lubang. Namun, lubang itu tak ada artinya. Diimbangi bahasa yang sangat mudah dicerna Ancika dapat dengan lancar mengisahkan dirinya dan Dilan. Bahasanya tidak kaku, meskipun banyak yang baku. Untuk urusan yang seperti ini, memang perlu untuk memberikan kesan yang tidak setengah-setengah. Saya suka dengan pemakaian kata “Saya” dari pada “Gue”. Ohw, ini di Bandung, jadi akan banyak Bahasa Sunda juga. Selipan komedi yang manis, jelas berhasil membuat simpul dibibir pembaca. Senyum-senyum sendiri akan menjadi hal lumrah saat membaca buku ini.

 Tingkah laku Dilan masih mengemaskan. Cara dirinya dalam menarik perempuan sungguh bisa dijadikan panutan. Kecuali kenekatan dan tindakan yang sering menjengkelkan dan masih merugikan diri sendiri dan orang lain.

Jika dipikirkan dengan baik, memang sosok yang tepat untuk mendampingi Dilan adalah Ancika. Dua sifat yang bisa saling mengimbangi. Milea juga sebenarnya sangat cocok, hanya tidak berjodoh saja. Hehehe… mungkin karena usia yang terpaut sedikit jauh. Sehingga Dilan akan tampak lebih dewasa dari Ancika. Hal itu sah-sah saja, pendapat pribadi saya, usia seorang laki-laki yang lebih matang bisa memberikan kenyamanan untuk perempuan. Ancika pun bisa mendapatkan itu dari Dilan yang romantis ini. Romansa mereka berdua tercipta sangat natural. Hampir ke-uwu-an –ini istilah gaul zaman sekarang– mereka berdua membuat pembaca menginginkan hal yang sama dan berandai-andai memiliki pasangan seperti mereka.

Bisa dipastikan juga buku ini akan membuat pembaca untuk bernostalgia ke tahun 90-an sekali lagi. Jika bosan dengan kisah anak SMA yang tak jauh dari tokoh dengan predikat ketua OSIS, Bad Boy,–Dilan juga– atau Bad Girl. Ancika bisa menjadi alternatif terbaik untuk lari dari hal yang membosankan itu. Pengemar yang telah lama menanti, tak akan kecewa dengan penantiannya. Begitu pula dengan pembaca baru yang ingin mengenal Ancika dan Dilan, sangat direkomendasikan untuk membaca buku ini.

Buku dengan tampilan yang menarik, layout cakep serta ilustrasi– meskipun tak sebanyak buku sebelumnya –yang ciamik ini dapat menemani hari-hari beratmu. 

Tapi, jika ditanya apakah ingin ada kisah Ancika dan Dilan sekali lagi?

Jawabanku, cukup, “Tidak”. Jangan menginginkan cerita yang panjangnya dibuat-buat. 

Selamat berkenalan dengan Ancika dan telusuri tahun 1995 yang akan membuatmu terpesona.





Salam Literasi.

Dicto Deto

 


Komentar

Popular Posts