Memiliki Anak itu, Pilihan, Ego atau Keharusan?
[Resensi Buku] Ours – Adrindia Ryandisza
Data Buku
Judul : Ours
Penulis : Adrindia Ryandisza
Penyunting : Nonie Pahmi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2021
Tebal Buku : 208 Hlm
~ Tentang Buku ~
•••
Menurutmu, mempunyai anak
itu pilihan atau keharusan?
Latar belakang keluarga
yang berbeda tak lantas membuat Prita dan Andi berdebat panjang saat diskusi
tentang anak. Sebelum menikah, mereka sudah bersepakat untuk hidup tenang dan
damai berdua saja sampai tua. Mereka bahagia.
Sayangnya, prinsip mereka
dianggap melenceng oleh keluarga Andi yang konsevatif. Prita dianggap melawan
kodrat. Beberapa perkataan dan perilaku anggota keluarga Andi membuat pasangan
itu mengelus dada.
Situasi di sekitar mereka
semakin mengancam. Kenzo, rekan kerja Prita, mulai terang-terangan mendekatinya.
Belum lagi ibu yang menelantarkan Prita sejak kecil, tiba-tiba menuntut
perhatiannya. Kedai kopi yang terancam bangkrut pun menguras pikiran Andi.
Keduanya tidak ingat lagi
cara berbahagia. Komunikasi di antara mereka mulai terhambat. Namun, rumah
tangga mereka terasa begitu riuh karena mulai terdengar suara-suara orang lain.
Kehidupan Prita dan Andi pun tak lagi hanya milik berdua.
•••
Romansa Metropop
kehidupan sepasang suami istri yang memutuskan untuk tidak memiliki anak ini
berliku. Selain tekanan dari lingkungan sekitar yang masih mengalami penolakan
akan prinsip kebebasan ini, juga keluarga yang mengharapkan bahwa keputusan
mereka tak akan menghadirkan penyesalan.
Akhir-akhir ini
pembahasan tentang childfree menjadi hangat. Pro dan kontra pun terus
bergulir. Novel ini hadir untuk melogiskan alasan-alasan dimana keputusan untuk
memilih untuk tidak memiliki anak adalah pilihan tepat. Apakah semua pertanyaan
itu akan terjawab?
Melalui karakter Prita
yang memiliki masa lalu suram, terutama dengan ibu kandungnya menghadirkan
trauma dan sejuta tanya. Apakah Prita mampu menjadi seorang Ibu yang baik? Andi
yang – terjebak – mencintai Prita mau tak mau mendukung keputusan istrinya. Benarkah
kodrat perempuan adalah melahirkan anak dan menjadi seorang ibu? Bagaimana dengan
mereka yang tak memiliki kesempatan memiliki anak?
Childfree
menjadi polemik tersendiri. Di saat beberapa pasangan tidak beruntung menginginkan
seorang anak, mereka yang mempunyai kesempatan justru tak menginginkannya. Memang
pilihan tetap menjadi hak pribadi setiap pasangan namun apakah pilihan itu sama
dengan keegoisan? Terkadang ego memang berkuasa di atas pilihan. Sementara pilihan
selalu disertai oleh ego. Ketika ego telah meraja muncul keharusan yang memaksa.
Sehingga memunculkan macam-macam pikiran tentang pilihan, ego, dan keharusan,
menyangkut anak dan memiliki anak.
Bagaimana nanti jika
tidak memiliki anak, atau nanti bagaimana jika anak-anak tersebut tak menjadi
seperti apa yang diharapkan. Apakah memilih tak memiliki anak akan membuat
hidup bahagia? Bagaimana jika ternyata kebahagian seorang perempuan adalah
dengan menjadi seorang ibu dari anak-anaknya?
Faktor untuk melakukan childfree
pun beragam, mulai dari trauma masa lalu, ketidaksiapan seseorang memiliki
anak, hingga kasir dan pekerjaan. Namun apakah bisa dibenarkan akan hal ini?
Jawaban-jawaban itu bisa
kamu temukan dalam “Ours”. Sebuah novel yang jelas membuka perdebatan
panjang.
~ Aku Suka dan Harap ~
Cerita dibuka dengan
percakapan pasangan yang ingin menikah. Kesepakatan sebelum melangkah menuju
jenjang yang lebih tinggi. Pembahasan tentang nanti memiliki anak hidup bahagia.
Selanjutnya bergulir intrik-intrik kecil yang mana akan membawa pembaca pada
konflik utama.
Alur berpusat pada Prita
yang bermasalah dengan Ibunya. Pengalaman itu membuatnya memutuskan untuk tidak
menjadi Ibu. Prita di sini menjadi tokoh sentral yang mengendalikan jalannya
cerita, tak hanya itu. Prita tak hanya berusaha mempertahankan prinsipnya untuk
childfree tapi juga mencoba mencuci otak pembaca agar bersimpati akan
keputusannya. Melalui kilasan balik, pembaca akan diajak untuk menyelam lebih
jauh, hingga membenarkan keputusan egoisnya.
Alurnya sedikit berlari,
bahkan pembaca tidak diberikan kesempatan untuk mencerna. Tapi, hal ini menjadi
bagian menarik, karena tak terlalu berbelit-belit langsung kepada inti cerita. Memang
tak ada yang suka dengan alur yang penuh basa-basi, tapi di sini perlu itu. Kadang
detail-detail kecil diperlukan untuk membangun cerita, kadang juga detail itu
menjadi “sampah” yang memenuhi paragraf panjang.
Sepertinya penulis
sengaja melakukan ini, premis yang diangkat sedikit memberi beban. Jika beban
itu ditambah dengan rumitnya tetek bengek dimana hanya untuk memberikan kesan
cerita yang mendayu-dayu, maka bisa dipastikan sejak halaman pertama pembaca
akan menutup buku ini.
Pilihan yang diambil
sangat tepat, polesan tanpa kata-kata rumit berkait tetap bisa menarik
perhatian. Sejak bab awal intrik sudah dihadirkan dan itu membuat pembaca terus
mendaki tangga dimana ujungnya telah terpampang di depan mata.
Irama yang dihempuskan
sepelan angin yang melalui kulit. Terasa namun tak diketahui wujudnya.
Dialog-dialog ringan
menjadi andalan agar cerita tetap bergulir. Namun, sayangnya banyak pemotongan
yang menimbulkan banyak pertanyaan. Kadang menimbulkan kesan tidak tuntas. Hebatnya
lubang itu tak mengganga hingga pembaca terperosok. Justru kesan yang
ditimbulkan sama seperti saat diri sendiri menghadapi sebuah masalah, yaitu
memilih lari dan menghindarinya. Ini hal yang wajar dan lumrah.
Karakter Prita yang
egois. Ya, aku menemukan egonya terlalu besar di sini. Seharusnya Prita menjadi
sosok yang mencuri simpati. Tapi, simpati itu justru sedikit demi sedikit mulai
tenggelam, saat Prita diam-diam berenang dan membenarkan segala pilihannya.
Andi yang tidak bisa
menjadi diri sendiri, aku merasa karakternya tampak dipaksakan. Sebagai seorang
suami, Andi tak memiliki ketegasan. Meskipun keputusan untuk childfree adalah
keputusan bersama, namun Andi di sini sama sekali tak diberikan ruang untuk sekedar
memberikan argumen akan keinginannya. Seolah-olah bahwa apa yang dipilih oleh Prita
adalah pilihan yang tepat untuknya. Sehingga di bagian akhir, jelas Andi kelimpungan.
Di sini sangat jelas terlihat.
Dua karakter ini rupanya
saling melengkapi. Dari perbedaan ini justru memberikan pandangan yang tepat. Seharusnya
memang begini, saling memahami, saling mengerti. Apapun yang sudah menjadi
pilihan harus dipertanggung jawabkan.
Sosok antagonis yang
diharapkan memberi kerikil tajam, justru tak dibiarkan mengganjal. Kemunculannya
hanya sebatas lemparan batu kecil. Efeknya hanya membuat pekikan pelan tanpa
rasa sakit. Sungguh aku sangat menyayangkan hal ini. Jika karakter Kenzo bisa lebih
dikembangkan maka, kehidupan Prita dan Andi makin rumit.
Aku menyukai teknik yang
digunakan penulis untuk mengabarkan segala macam masalah. Lancar dan
menenangkan, bahkan membaca lembaran buku ini bisa dilakukan tanpa perlu
mengambil secangkir teh untuk menyegarkan tenggorokan. Kelembutan setiap bagian
yang dibuat praktis ini akan membuat pembaca bertahan. Mengalir seperti air
yang menghanjutkan dedaunan. Dan kita adalah daun itu, terombang-ambing tanpa
rasa mabuk sedikitpun.
Bagusnya lagi, apa yang
dipilih oleh penulis untuk memberikan roh pada setiap karakternya bisa
ditolerir. Keputusan untuk tidak memiliki anak, hingga mempertahankan beberapa
prinsip yang mana akan sangat berpengaruh besar pada kehidupan pasangan ini dan
keluarga besar mereka. Memang kita, pilihan, dan kehidupan adalah milik kita
sendiri. Namun, milik kita terkdang menjadi milik mereka yang secara tidak
langsung memiliki andil besar dalam kehidupan yang sudah dipilih.
Meskipun bergenre romance
porsi romantis dan cinta-cintaan itu tak terlihat sama sekali. Tidak berlebihan
hingga membuat eneg, seperti novel bergenre metropop pada umumnya. Ya, walaupun
tetap tak menghilangkan ciri khas. Pakem, bahwa metropop sedikit banyak akan
membicarakan tentang cinta dewasa. Namun, aku kehilangan unsur-unsur pendukung
seperti gambaran suasana gemerlap kota, hiruk pikuk kehidupan liar, hingga
masalah-masalah yang umum terjadi di sana.
Setting tempat dan waktu sama
dengan yang lain, tak terlalu dibuat detail. Untuk kilas balik pun, hanya
melalui petunjuk pendek. Hal ini memang tidak akan merusak cerita dan memang
tidak seharusnya dirusak. Tapi, alangkah bahagianya, jika pembaca bisa
mengetahui lebih baik tak hanya mengira-ngira saja. Mungkin juga, penulis
memberikan sepenuhnya kepada pembaca untuk mengendalikan khayalannya. Dengan berpura-pura
menjadi Prita, menggunakan atribut dirinya, dan akhirnya ikut trenyuh dalam
putaran nasibnya.
Fokus utama adalah childfree
dan sepertinya memang tak ingin memperumit lagi dengan masalah-masalah yang
mana hanya sebagai pengalihan agar lebih berbobot. Kurasa bobot yang diberikan
sudah sangat cukup untuk membuat pembaca terpesona dengan buku bercover
menenangkan ini.
~ Aku Pikir Satu Hal ~
Alasan Prita untuk childfree
sungguh bisa dipertanggungjawabkan. Aku pikir hal ini bisa dibenarkan. Sepanjang
cerita, dijejali mengapa dan bagaimana pilihan itu dipertahankan. Gejolak batin
Prita tersampaikan kepada pembaca. walaupun, tak disertai melodrama pembaca
tetap bisa memberikan dukungan padanya.
Pesan yang ingin
diungkapkan itu tertangkap dengan mudah dalam jaring-jaring. Tanpa umpan,
pembaca mendapatkan ikan yang melompat suka rela dalam ember. Semenyenangkan itu
memang menghabiskan 200 halaman buku ini.
Aku pikir, tidak ada yang
salah dengan memilih tidak memiliki anak. Namun, di sini hanya dijabarkan akan
sebab tanpa akibat. Sebab tak ingin punya anak maka akan ada akibat dari
keputusan ini. Ya, pertentangan dari keluarga bisa dikatakan akibat. Namun,
akibat ini hanya bersifat jangka pendek, sementara sebab yang dihadirkan akan
memiliki pengaruh yang sangat panjang.
Konflik yang sudah
disebarkan sejak bab-bab awal terus berlanjut dan memiliki tingkat konsistensi
yang baik. Terus berkelanjutan tanpa adanya tembok yang membelokkan. Namun di sepertiga
bagian akhir, konflik tersebut melemah. Meskipun muncul masalah-masalah baru. Masalah
baru tersebut tidak berhasil menjadi penguat. Bahkan terkesan dibuat untuk
lebih menekan. Sayangnya, tampak canggung. Jika konflik itu dibuat sedikit
lebih menekan seperti “Prita yang ketahuan makan siang bersama Kenzo melalui
mata sang ibu mertua atau Andi sendiri.” Bisa dipastikan kegunaan Kenzo di sini
akan lebih bermanfaat.
Keputusan untuk
mengakhiri cerita memang sudah tepat. Tapi, hal ini justru membuka
pertanyaan-pertanyaan baru yang akan terjawab jika penulis berniat membuat
kelanjutan kisah Prita dan Andi. Pilihan seperti ini pun, aku pikir sudah
dipikirkan secara matang. Jika apa yang aku harapkan diatas benar-benar ditulis,
maka fokus utama akan mengabur. Perihal childfree tersebut akan berubah
tema menjadi cinta orang ketiga.
Satu hal, yang menurutku
perlu untuk diselesaikan lebih jelas adalah tentang hubungan Prita dan Ibunya. Bagaimanapun
sikap Ibu terhadap kita, jelas memiliki alasan kuat. Seperti alasan Prita yang
memilih untuk tidak memiliki anak. Sehingga kesan bahwa Prita adalah orang yang
hanya memikirkan dirinya sendiri terlukiskan dengan jelas. aku pikir Prita pun,
sama sekali tidak memahami apa yang dipikirkan oleh Andi.
Melalui buku ini, aku
tahu sedikit banyak akan childfree. Apakah bisa diterima keputusan itu? Jawabku
bisa, meskipun aku bukan termasuk orang yang pro akan childfree. Sama seperti
yang diucapkan oleh Ibu Prita bahwa dia tak ingin sendirian. Ini menjadi
petunjuk penting akan pilihan Prita. Masalah bagaimana nanti atau nanti
bagaimana itu, jelas memiliki konteks yang berbeda. Namun sama-sama butuh
pemikiran.
Selain tentang childfree
aku juga memahami bahwa ‘Maksi’ adalah makan siang. Awalnya aku tak memahami
ini, apalagi tidak ada catatan apapun. Walau muncul melalui dialog, sepertinya
perlu untuk dijelaskan. Pembaca bukan hanya berasal dari satu daerah saja, bisa
jadi orang yang tinggal jauh dari keramaian kota akan bertanya-tanya hal sepele
seperti ini. Hebatnya, dialog yang tak terkesan kaku ini bisa dinikmati dengan
mudah ditengah derasnya alur yang mengalir. Perlu perhatian khusus rupanya
untuk bisa masuk ke dalam kehidupan Prita dan Andi.
Satu hal dari semua yang
sudah aku paparkan di atas. Buku ini punya potensi yang besar untuk memberikan
jawaban logis akan childfree. Mulai dari bangunan cerita yang mumpuni,
keberanian penulis menghadirkan kisah penuh perdebatan ini, hingga pilihan-pilihan
yang sbenarnya mudah untuk ditelaah dengan pikiran yang tenang. Bukan dengan
mengandalkan emosi yang berlebihan yang justru akan memberikan akibat
berlebihan.
Aku pun suka dengan
cara-cara yang dipilih setiap karakter di sini dalam mengatur emosi. Ibu mertua
Prita yang memang sangat mencerminkan ibu-ibu mertua di mana pun, yang mana
suka sekali mencari kawan dan dukungan untuk membenarkan dirinya.
Keluarga itu bukan
tentang kamu dan dia, namun tentang mereka yang bertalian benang darah.
Buku bercover cantik ini,
layak untuk dibaca. Tidak hanya sekali, aku yakin perlu setidaknya dua kali
agar bisa sepakat dengan Prita. Namun, aku tak terlalu suka dengan layout
buku ini. Setiap bab-bab pendek tersebut terdapat ilustrasi kue-kue yang bahkan
tidak ada hubungan sama sekali dengan childfree. Memang untuk
mempercantik, namun alangkah tepatnya jika ilustrasi tersebut punya benang
merah yang kuat. Hanya sekedar menu ‘Maksi’ saja kurasa masih tak cukup untuk
menambah napsu makan untuk melahap buku ini.
Apapun itu, buku ini
hebat dengan caranya memancing emosi pembaca.
Komentar
Posting Komentar